Jakarta – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kembali mendapat perhatian dari kalangan ahli gizi. Diskusi “Dinamika dan Harapan Menuju Indonesia Emas 2045” yang digelar Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) menjadi ajang pakar kesehatan memberikan masukan terkait kualitas dan pelaksanaan MBG.
Prof. Tjandra Yoga Aditama, pakar kesehatan dari Universitas Yarsi, menekankan pentingnya evaluasi untuk mencegah keracunan makanan.
“Nomor 1 tentu evaluasi keracunan ya. Dan kita sudah punya banyak pengalaman, apa yang bisa kita lakukan dan saya yakin banyak yang bisa kita lakukan supaya keracunan ini tidak terjadi lagi kalau tidak diminimalisir,” kata Tjandra dalam diskusi di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (16/10/2025).
Tjandra juga mengingatkan agar kualitas gizi makanan MBG dievaluasi sehingga benar-benar bergizi.
“Sekalianlah evaluasi status gizinya bagaimana. Apakah status gizi makanan yang ada ini cukup baik? Ada juga orang yang protes ini gak bagus, ada cuma wortel sama beginilah. Jadi sekalian evaluasi yang kedua itu. Status gizinya, karena ujung-ujungnya ini kan maunya makanan bergizi,” jelas dia.
Selain itu, ia menyarankan pemerintah meninjau berbagai opsi pendanaan dan distribusi, termasuk melibatkan pihak sekolah atau pemerintah daerah.
“Jadi kalau saya usul, cobalah dilihat beberapa opsi itu, berbagai kemungkinan. Saya nggak bilang itu bagus atau nggak, tapi ada bagusnya dibuka berbagai kemungkinan untuk lihat mana yang kira-kira lebih cocok untuk Indonesia atau satu sistem atau berbagai sistem,” ucapnya.
Tjandra menilai SPPG Polri bisa dijadikan contoh karena standar kebersihan yang tinggi.
“Nah ini, ini Polri ya. Jadi pada bulan Juni, ini sudah ada perwakilan Kementan ke SPPG Polri ini. Dan mereka bilang luar biasa higienis,” ucapnya.
“Salah satu contoh evaluasi yang pertama tadi. Jadi untuk penjaga keracunan makanan, ini salah satu contoh yang bisa kita pakai,” sambung dia.
Sementara itu, ahli gizi Persagi, Marudut Sitompul, menekankan pentingnya memanfaatkan pangan lokal agar menu MBG sesuai dengan kearifan lokal dan tetap bergizi.
“Kearifan lokal itu menjadi utama. Pangan lokal itu penting dan harus tersedia di daerah. Jadi tidak setiap daerah harus menggunakan beras atau nasi,” ujar Marudut.
Ia menambahkan bahwa standar gizi telah diatur dalam Perpres Nomor 83 Tahun 2024, namun tetap fleksibel dalam pemilihan bahan makanan.
“Ada master menu yang menjadi acuan. Tapi tiap daerah bisa menyesuaikan jenis makanannya asal kandungan gizinya tetap terpenuhi. Misalnya, kalau kangkung tidak ada, bisa diganti bayam. Kalau di sana biasa makan sagu, silakan gunakan sagu,” jelasnya.
Dari sisi keamanan makanan, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menegaskan bahwa seluruh SPPG akan menggunakan rapid test sebelum distribusi makanan, mencontoh SPPG Polri.
“Pertama, seluruh bangunan yang dibangun oleh Polri itu kan standarnya bagus ya. Kemudian, yang kedua, mereka melakukan rapid test sebelum makanan itu diedarkan,” kata Dadan Hindayana di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).
“Instruksi presiden bahwa seluruhnya nanti akan melakukan seperti itu,” ujarnya.
Dengan evaluasi yang berkelanjutan dan penerapan standar ketat, program MBG diharapkan mampu memenuhi target gizi masyarakat secara aman dan efektif di seluruh Indonesia.